KONSEP DEMOKRASI DALAM ISLAM
MAKALAH
UntukMemenuhiTugas Mata KuliahCivic
Education
DosenPembimbing
:
Sayyidi, S.PD., MA.
DisusunOleh:
ZAINUL HASAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYARIFUDDIN
(STAIS)
WONOREJO LUMAJANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadlirat Allah SWT, karena dengan Ridlo-Nya, penulis dapat
menyelesaikan makalah ini sebagaimana mestinya. Makalah ini disusun secara
efektif sehingga memungkinkan dapat dengan mudah di fahami oleh para pembaca
yang budiman.
Penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, khususnya
kepadaselaku dosen pembimbingSayyidi, S.PD., MA.
yangtelahbanyakmemberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis sehingga
makalah ini bisa disusun dengan baik.
Penulis berharap
makalahyang berjudul”Konsep Demokrasi Dalam Islam’’ ini dapat bermanfaat bagi saudara-saudara pembaca
khususnya dan dapat berguna bagi lingkungan sekitar pada umumnya dengan
mengimplementasikan pelajaran yang terdapat dalam makalah singkat ini.
Penulis
Lumajang, 15 Desember 2013
Kata
Pengantar......................................................................... i
Daftar
Isi.................................................................................. ii
BAB
I Pendahuluan
A.
Latar Belakang................................................................ 1
B.
Rumusan Masala............................................................ 2
C.
Tujuan............................................................................. 2
BAB
II Pembahasan
A. Definisi
Demokrasi......................................................... 3
B. Persamaan
dan Perbedaan Islam dan Demokrasi............ 3
C. Pandangan
Ulama Tentang Demokrasi........................... 5
D. Demokrasi
Dalam Islam.................................................. 7
E. Prinsip-prinsip
Demokrasi dalam Islam......................... 8
BAB
III Penutup
A. Kesimpulan..................................................................... 15
B. Saran............................................................................... 16
Daftar Pustaka.......................................................................... 17
BAB II
PEMBAHASAN
A. Demokrasi Menurut Pandangan Islam
Banyak kalangan sarjana Islam yang
kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan
bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya
tak terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura
(musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi,
Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Syaikh Yusuf Qardawi serta
sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha
mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang
lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi.
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak
hanya selaras dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas,
tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi
Islam.
Sebagai produk yang lahir dari rahim peradaban Islam,
Piagam Madinahdiakui sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi
membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban. [1][9]
Secara terminology Islam berarti penundukan diri sepenuhnya (secara total)
setiap mahluk ALLAH SWT (terutama manusia) terhadap kehendak dan ketetapan
ALLAH, yaitu: Sunnatullah bagi bagi seluruh mahluk ciptaan ALLAH SWT dan
syariah bagi manusia.[2][10]
Apabila kita dapat melepaskan diri
dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan
Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya
tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan
preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di
sisi lain.
1. Konstitusional
Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang
“konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the
governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang
ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran,
Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan
dengan Alquran dan Sunnah. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki
hak untuk membuang atau mengubah konstitusi.
Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan
otokratik, monarki atau militer. Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada
dasarnya egalitarian, dan egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal
Islam. Secara luas diakui bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah adalah
berdasarkan kerangka fondasi konstitusional dan pluralistik yang juga
melibatkan non-muslim.
2. Partisipatoris
Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur
pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat
partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan
dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer.
Umat Islam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan petunjuk
Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki proses-proses
itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam.
3. Akuntabilitas
Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem
konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung
jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa
semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya.
Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh
karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi
sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah
al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus.
Poin ini memerlukan kajian lebih lanjut karena adanya mispersepsi tentang
kedaulatan (sovereignty): bahwa kedaulatan Islam adalah milik Tuhan
(teokrasi) sedangkan kedaulatan dalam demokrasi adalah milik rakyat. Anggapan
atau interpretasi ini jelas naif dan salah. Memang, Tuhan merupakan kedaulatan
tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia telah memberikan kebebasan dan tanggung
jawab pada umat manusia di dunia.
Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di dunia[3][11]. Dia telah
menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan
untuk membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut
petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi
interpretasi dan implementasinya adalah profan.
Apakah akan memilih jalan ke surga atau neraka adalah murni keputusan
manusia. Apakah akan memilih Islam atau keyakinan lain juga keputusan
manusiawi. Apakah akan memilih untuk mengorganisir kehidupan kita berdasarkan
pada Islam atau tidak juga terserah kita. Begitu juga, apakah umat Islam hendak
memilih bentuk pemerintahan Islam atau sekuler. Tidak ada paksaan dalam agama.
Apabila terjadi konflik antara masyarakat dan pemimpin, seperti mayoritas
masyarakat tidak menginginkan sistem Islam, maka kalangan pimpinan tidak dapat
memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tidak ada paksaan
atau tekanan dalam Islam. Karena tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan
hasil yang diinginkan dan fondasi Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan
atau tekanan.
Pada karakter fundamental yang didasarkan pada poin-poin di atas, tidak ada
konflik antara demokrasi dan sistem politik Islam, kecuali bahwa dalam sistem
politik Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya Islami apabila tindak
tanduknya bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa umat Islam hendaknya tidak
menganggap demokrasi dalam artian umum bertentangan dengan Islam; sebaliknya,
umat harus menyambut sistem demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Dr Fathi
Osman, salah satu intelektual muslim kontemporer terkemuka, `’demokrasi
merupakan aplikasi terbaik dari Syura”.
A. Prinsip-prinsip
Demokrasi dalam Islam
Prinsip Demokrasi Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi
terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya, Kebebasan
berbicara setiap warga negara, pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah
pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti, kekuasaan
dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas, peranan
partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat,
pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, supremasi hukum
(semua harus tunduk pada hukum), semua individu bebas melakukan apa saja tanpa
boleh dibelenggu.Pandangan Ulama tentang Demokrasi.
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi.
Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan
besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan
manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga
cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat)
merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham
teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan seperti teokrasi yang
diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak
terbatas pada para pendeta.
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh
intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan
sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya
sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai
salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan
nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak
dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan
spiritual.[4]
Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual
yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal
bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat.
Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan
asasi; kepatuhan pada hukum; toleransi sesama warga; tidak dibatasi wilayah,
ras, dan warna kulit; serta dilandasi penafsiran hukum Allah melalui
ijtihad.
Menurut Muhammad Imarah Islam tidak menerima demokrasi secara
mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan
legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan
rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan
wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia
hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan
Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator)
sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami sesuai
batasan kemampuannya dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas
kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia
membiarkannya.
Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan
eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas
tersebut. Allah befirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’râf: 54). Inilah batas
yang membedakan antara sistem Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal
lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas,
serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya,pertama, dalam demokrasi
proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat
yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak
boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam.
Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di
belakangnya.
Kedua, usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran
juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan
nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga pemilihan umum
termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan
hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan
suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia
telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
Ketiga penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga
tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang
tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan
sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah
berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus
tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih
seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh
lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu
saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan
nash syariat secara tegas.
Keempat juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan
pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang
sejalan dengan Islam.[5]
Menurut Salim Ali al-Bahnasawi, demokrasi mengandung sisi yang baik
yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan
dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak
bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak
legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram
dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi
sebagai berikut pertama, menetapkan tanggung jawab setiap individu di
hadapan Allah. Kedua, wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah
dan tugas-tugas lainnya. Ketiga mayoritas bukan ukuran mutlak dalam
kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan
Sunnah. Keempat komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan
jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam meliputi, pertama, Syura
merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara
eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS.
As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang
paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada
zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang
bertugas memilih kepala negara atau khalifah
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan
dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan.
Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan
menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari
pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang
disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam
menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus
dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti
pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh
Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90; QS.
as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya. Betapa prinsip
keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang
“ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara
kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang
mengatasnamakan) Islam”.
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada
pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan
kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat,
berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu
pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang
diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan
adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah
dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan
rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah,
memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian
ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura
dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini
adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain
tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan
yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau
amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin
atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan
kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini
terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.[6]
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut
tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin
bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana
kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai,
bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang
pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini
mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di
depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan
wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam
mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah)
ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang
terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak
ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat),
melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian,
kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap
pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat
ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap
orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan
pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan
memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr
bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa
untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak
adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya
keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka
kezaliman akan semakin merajalela.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Demokrasi adalah sebuah
tatanan Negara /pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat. (benyamin Franklin).
1.
Persamaan Islam & Demokrasi
Dr.
Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam
dan demokrasi :
1)
Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang
diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam
2)
Kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan.
2. Perbedaan Islam &
Demokrasi
1)
Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat
dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang
mengkristal.
2)
Tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap
masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material.
1.
Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau,
substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa
hal. Misalnya:
1)
Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk
mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai.
Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang
tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
2)
Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan
dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat
kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
Penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka
konseptual Islam, banyak memberikan perhatian pada beberapa aspek khusus dari
ranah social dan politik. Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang
mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berurat berakar yaitu:
1.
Musyawarah
(syura)
2.
Persetujuan
(ijma)
3.
Penilaian
interpretative yang mandiri (itjihad)
Menurut Yusuf
al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa hal.
1.
Dalam
demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang
kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka
tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan
Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh
makmum di belakangnya.
2.
Usaha
setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam.
Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin
adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga pemilihan umum termasuk jenis pemberian
saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga
kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh
kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
B.
Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mufti, Muhammad dan Sami Salih
al-wakil. 2005. Ham menurut Barat, HAM menurut Islam.
Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah
Frans, Magnis Suseno. 1998. Etika
Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Moderen. Jakarta: PT.
Gramedia.
Hadi El-Sutha, Saiful. 2008. Adil
dan Bijaksana itu bikin tentram. Jakarta: Erlangga
Jurdi, Syarifuddin. 2008. Pemikiran
Politik Islam Indonesia (Pertautan Negara, Khilafah,Masyarakat Madani dan
demokrasi). Jakarta: Pustaka Pelajar.
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah. 2007. Doktrin
dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Erlangga.
[4] Frans, Magnis Suseno. 1998. Etika Politik; Prinsip-Prinsip
Moral Dasar Kenegraan Moderen. Jakarta: PT. Gramedia.
[5]Frans, Magnis Suseno. 1998. Etika Politik; Prinsip-Prinsip
Moral Dasar Kenegraan Moderen. Jakarta: PT. Gramedia.
[6]
Hadi El-Sutha, Saiful. 2008. Adil dan Bijaksana itu bikin
tentram. Jakarta: Erlangga